"Bila ada sesuatu yang ingin kita ubah dalam diri anak itu, pertama-tama kita harus memeriksanya dan melihat dulu, apakah itu bukan sesuatu yang lebih baik untuk diubah dalam diri kita sendiri." -Carl Gustav Jung-
Untuk membentuk output siswa dari hasil belajar mengajar di sekolah, perlu adanya sinergi antara guru dan orang tua di rumah. Sinergi ini dibentuk dari adanya kepercayaan kedua belah pihak. Namun, yang perlu kita perhatikan sebelum mengubah dan membentuk seorang anak adalah melihat bagaimana diri kita terlebih dahulu, baik sebagai orang tua maupun sebagai guru. Apakah nilai yang kita tanamkan pada anak sudah tercermin pada pikiran, perilaku dan ucapan kita? atau hanya idealisme belaka? sebelum kita dapat mengoreksi diri kita, perlu kita pelajari bagaimana karakter diri dan juga para siswa. Hal ini tidak dapat terlepas dari perkembangan jaman yang tentu sangat berpengaruh pada progress perkembangan siswa di setiap jenjang.
Pasca pandemi, tentu banyak perubahan dalam dunia pendidikan. Utamanya kondisi perkembangan siswa saat ini. Perkembangan pada siswa di usia dini yang dapat kita amati khususnya dalam aspek-aspek yang mempengaruhi life skill siswa. Seperti, kemampuan daya juang, daya fokus, mengikuti instruksi, terlibat dalam kegiatan, kekuatan motorik, dan kemampuan berkomunikasi. Aspek-aspek ini tentu bukan sesuatu yang dapat kita simpulkan sebagai bentukan akhir dalam proses belajar. Karena siswa akan melewati proses yang panjang setelah mereka selesai bermain dan belajar di jenjang Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak.
Yang menjadi pertanyaan, Apakah adanya perubahan perkembangan siswa dan orang tua akan menjadi masalah dalam proses pendidikan ? Darimana dapat kita bentuk kemajuan dan kesejahteraan di masa yang akan datang ? Tentu saja menggunakan sistem yang terorganisir, baik dari sistem maupun sumber daya manusianya. Dengan demikian, dirasa penting kita memahami adanya pergeseran karakter yang mempengaruhi perkembangan kondisi siswa saat ini.
Gambaran Orang Tua Saat Ini
Sebelum kita membahas tentang bagaimana perkembangan siswa saat ini, terlebih dahulu kita bahas gambaran orang tua saat ini. Orang tua yang menyekolahkan putra-putrinya di jenjang usia dini (KB dan TKA) berkisar pada usia 1987 – 1995. Jika kita kategorikan pada generasi, mereka memasuki generasi Milenial. Generasi milenial memiliki sisi positif yaitu pribadi yang terbuka, percaya diri yang bagus, mampu mengekspresikan perasaan denga baik, optimis, mampu menerima ide, gemar melakukan pengembangan diri dan berpendidikan tinggi. Namun sisi negatifnya ialah narsis, suka berpindah pekerjaan, dan memiliki egoisme yang cukup tinggi.
Dapat dipastikan mereka akan lebih mudah survive, mencari penghasilan dengan nominal tinggi dan memiliki standart hidup serta pendidikan yang tinggi. Standart ini tidak hanya untuk dirinya namun juga untuk keturunannya. Mereka dengan mudah mengakses internet sebagai bahan belajar dan ilmu pengetahuan mereka, salah satunya dalam mengakses ilmu parenting. Mereka lebih senang mandiri (tidak suka digurui), dan menganggap upaya mereka sudah lebih baik (masuk dalam narsisme). Mereka lebih menyukai kehidupan sosial dibanding fokus pada internal mereka.
Hal ini sangat berpengaruh pada bagaimana mereka memiliki standart hidup dan pola asuh pada anak-anak mereka. Mereka gemar belajar namun masih minim dengan pengalaman. Sehingga seringkali merasa dirinya telah mampu dan memahami bagaimana mengasuh anak namun nyatanya dihadapkan dengan realita anak-anak yang telat perkembangan di era saat ini.
Orang tua dengan generasi milenial dominan (tidak semua) fokus dengan pengembangan diri dan mencari penghasilan baik ayah maupun ibu. Hal ini tidak serta merta karena keinginan mereka, namun ada bagian dari mewujudkan harapan orang tua mereka untuk memiliki profesi yang layak dan penghasilan yang optimal. Sehingga kehidupan anak mereka lebih dipercayakan pada asisten rumah tangga, atau baby sitter (pengasuh). Kurang beradanya orang tua sangat berdampak pada perkembangan anak-anak mereka. Namun, tidak sedikit orang tua yang menganggap bahwa dirinya telah melakukan yang terbaik sehingga tidak mudah untuk menerima kondisi perkembangan anak yang dirasa kurang.
Dengan adanya pendampingan yang kurang optimal, akan mempengaruhi pola asuh mereka. Orang tua generasi milenial tentu akan bersikap praktis karena mereka sudah lelah dengan aktifitas pengembangan diri mereka. Sehingga setiap detail yang perlu distimulasi pada anak mereka abaikan. Mereka akan lebih fokus dengan gadget mereka, memperhatikan relasi dan bisnis juga ekspektasi mereka tentang hidup yang cukup tinggi sehingga menyerahkan pendampingan anak pada asisten.
Gambaran Anak Saat Ini
Anak yang masuk ke jenjang KB dan TK saat ini yaitu anak-anak dengan kelahiran 2017 – 2019. Jika kita kategorikan mereka ada pada Generasi Alpha. Generasi Alpha terlahir di dunia digital yang sedang berkembang pesat sehingga mereka juga disebut generasi digital. Secara pemikiran, generasi Alpha akan lebih terbuka dengan generasi sebelumnya. Namun disini yang perlu kita garisbawahi adalah karakter anak generasi Alpha yang terbentuk oleh para orang tua generasi Milenial.
Korelasi Orang Tua Milenial Dengan Anak Generasi Alpha
Sebagai seorang guru, tentu kita akan menghadapi segala karakter yang ditunjukkan selulruh siswa di Sekolah. Karakter yang muncul beserta potensi-potensinya tidak luput dari adanya pola asuh yang dilakukan oleh para orang tua generasi milenial. Dengan demikian kita perlu memahami bagaimana para orang tua milenial memberikan sentuhan sehari-hari di rumah pada putra-putri mereka. Seperti yang telah dibahas sebelumnya tentang karakter generasi milenial, mereka akan lebih fokus pada pengembangan diri dan berpusat pada dirinya. Sehingga hal-hal yang dianggap dapat dilakukan oleh orang lain maka mereka akan menyerahkan hal itu kepada orang kepercayaan, seperti halnya pengasuhan anak.
Anak-anak generasi Alpha saat ini berpotensi lebih senang melihat tontonan Youtube dibanding membaca buku cerita. Mereka akan mudah berkata dan berperilaku seperti yang orang dewasa lakukan karena tontonan mereka yang dapat diakses dari mana saja. Hal ini terjadi karena minimnya pengawasan orang tua yang sibuk dengan dunia luar.
Generasi Alpha saat ini juga berpotensi untuk malas bergerak karena kebutuhan serba ada dan dilayani dengan adanya suster atau asisten rumah tangga. Hal ini menjadikan generasi Alpha mudah rapuh, tidak berdaya juang dan minimnya kreatifitas. Mereka diberikans egala fasilitas yang terbaru dan tercanggih, tidak perduli seberapa mahalnya. Karena orang tua milenial tidak ambil pusing melihat anaknya merengek atau bahkan tertinggal dengan teman-temannya.
Generasi Alpha yang memasuki jenjang Kelompok Bermain dan TK berpotensi sangat aktif di kelas dan sulit untuk dikendalikan. Karena mereka terbentuk dalam 3 tahun terakhir di rumah dengan stimulus-stimulus modern di dalam rumah. Artinya, pendekatan alam sudah diabaikan karena orang tua tidak ingin repot dan energi telah terkuras untuk keperluan diri mereka. Padahal, eksplorasi lingkungan menjadi fokus penting di jenjang Kelompok Bermain dan TK agar pembentukan potensi anak lebih optimal.
Siswa dengan generasi Alpha juga lebih ekspresif, sehingga akan mudah marah dan tantrum jika mengalami masalah. Hal ini merupakan efek dari minimnya pendampingan sehingga hal-hal yang berkenaan dengan latihan problem solving, etika, dan Life skill. 3 Aspek tersebut membutuhkan proses cukup lama agar anak terbentuk karakter dan sikap yang baik. Dan hal ini menjadi keterbatasan orang tua milenial dengan waktu dan energi yang sedikit di rumah bersama putra-putri mereka.
Menjadi Guru Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak Masa Kini
Menjadi guru di tahun-tahun ini tentu tidaklah mudah. Karena guru berhadapan langsung dengan 2 generasi, yaitu generasi Milenial (orang tua) dan generasi Alpha (siswa). Karena menjadi guru di jenjang Kelompok Bermain dan TK tidak hanya memberikan layanan pada siswa namun yang tidak kalah penting yaitu layanan pada orang tua. Lalu, bagaimana guru dapat memposisikan diri sebagai sosok yang dapat diterima oleh dua generasi sekaligus?
Guru merupakan profesi yang terus belajar dan berkembang, sehingga sangat penting untuk merubah mindset agar menjadi guru yang dapat diterima oleh orang tua maupun siswa. Berikut sosok tips bagi 2 generasi sekaligus :
Sosok Guru Bagi Generasi Alpha (Siswa) :
1. Mengikuti perkembangan sosial saat ini (tontonan anak-anak, lagu anak-anak, permainan dan alat main).
Guru harus update dengan perkembangan yang beredar di masyarakat agar dapat memberikan wacana dan batasan dengan gaya bahasa yang mudah diterima anak.
2. Dapat mengoperasikan Gawai.
Guru perlu mahir dalam mengoperasikan gawai, karena saat ini pembelajaran siswa tidak berpaku pada kertas dan papan tulis. Sesekali perlu memberikan gambaran melalui internet. Dan membuat media pembelajaran melalui laptop atau computer.
3. Penuh Ekspresi.
Siswa generasi Alpha akan lebih tertarik dengan segala ekspresi yang terlihat berlebih. Mereka cenderung mengabaikan guru dan terlihat jenuh saat guru berekspresi seadanya atau bahkan datar.
4. Pendekatan Bermain
Bermain untuk generasi Alpha sangat didominasi dengan permainan-permainan yang berupa alat siap pakai. Sehingga menjadi kesempatan emas bagi guru untuk mengajak siswa bermain dengan bahan-bahan yang tersedia di alam seperti batu-batuan, ranting, daun atau benda-benda bekas pakai. Selain untuk menambah referensi siswa dalam bermain, akan muncul kreatifitas-kreatifitas yang bisa jadi kurang terstimulasi di rumah. Sesekali siswa juga dibekali dengan permainan tradisional.
5. Berkisah
Siswa diajak berkisah melalui buku, selain menumbuhkan kecintaan terhadap literasi, mereka juga akan belajar banyak norma, adab dan aturan melalui buku cerita.
Selain menjadi guru siswa dengan generasi Alpha, guru juga akan berhadapan dengan orang tua generasi Milenial. Berikut tips menjadi guru bagi generasi Alpha (orang tua):
1. Berikan Apresiasi
Orang tua milenial cenderung narsis namun positifnya mereka mengupayakan segala yang terbaik bagi kehidupan dan putra-putrinya. Sehingga apresiasi dari guru akan memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka dan akan dengan mudah mendengarkan arahan guru selanjutnya.
2. Kenali Bahasa Mereka
Generasi Milenial lebih suka dengan bahasan yang relate dengan kehidupan mereka, mereka tidak suka bertele-tele. Maka guru hendaknya membahas perkembangan anak dengan bahasa yang ringan, tidak terkesan menggurui, mudah diterapkan dan tidak menyulitkan mereka.
3. Tidak Kaku/Formal
Menjaga profesionalitas terhadap walimurid itu penting, namun ada hal yang perlu kita pahami dalam menghadapi orang tua milenial yaitu dengan tidak menyampaikan dengan kaku. Mereka akan lebih dapat menerima orang lain (guru) ketika diberi sapaan hangat, menanyakan kabar, atau bercerita kegiatan anak di kelas dengan improvisasi yang menyenangkan.
Dengan memahami karakter siswa dan wali murid sesuai dengan perkembangan jaman, maka akan mudah untuk melakukan pendekatan melalui proses pendidikan di sekolah. Namun, jangan lupa untuk memahami diri sebagai guru. Karena sebaik-baik orang tua dan guru adalah yang dapat merefleksi dirinya untuk menjadi lebih baik.